Tuesday, August 17, 2010

Cara-cara memperingati hari-hari Allah

Tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari tertentu. Juga tidak ditetapkan peringatan itu harus dilakukan secara berjama’ah ataupun secara individual. Begitu juga halnya dengan peringatan maulid, dapat diadakan setiap waktu, boleh secara individu atau berjama’ah. Sudah tentu waktu yang paling tepat ialah pada hari turunnya nikmat Allah. Dalam hal memperingati maulid Nabi saw. waktu yang paling sesuai adalah pada bulan Rabiul-awal (bulan kelahiran Rasulallah saw.). Akan tetapi mengingat besarnya manfaat peringatan maulid ini dan mengingat pula bahwa dengan cara berjama’ah lebih utama dan lebih banyak barakah, maka peringatan maulid dapat diadakan pada setiap kesempatan yang baik secara berjama’ah.

Misalnya pada hari-hari mengkhitankan anak-anak, pada waktu hari pernikahan, pindah rumah, pelaksanaan nadzar yang baik, beroleh rizki yang banyak dan lain sebagainya. Bagaimana pun juga setiap acara-acara yang penting yang di-isi atau diselenggarakan maulid Nabi saw. menurut pandangan Islam pasti jauh lebih baik dan lebih bermanfaat daripada di-isi dengan acara-acara lain yang hanya bersifat bersenang-senang saja tanpa makna.

Mengenai diselenggarakannya peringatan hari-hari Allah pada hari-hari ulang tahun turunnya nikmat, terdapat hadits shohih yang dapat dijadikan dalil, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim tentang puasa pada hari ‘Asyura. Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab; ‘Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan Nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka’. Kemudian Nabi saw. menjawab: ‘Kami lebih berhak memper- ingati Musa dari pada kalian’! (Nahnu aula bi muusaa minkum).

Kecuali itu terdapat hadits lainnya, diketengahkan oleh Ibnu Taimiyah dari hadits Ahmad bin Hanbal yang menuturkan sebagai berikut: “Aku mendengar berita, pada suatu hari sebelum Rasulallah saw. tiba (disuatu tempat di Madinah) diantara para sahabatnya ada yang berkata: ‘Alangkah baiknya jika kita menemukan suatu hari dimana kita dapat berkumpul untuk mem- peringati nikmat Allah yang terlimpah kepada kita’. Yang lain menyahut: ‘Hari Sabtu!’. Orang yang lain lagi menjawab; ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Yahudi’! Terdengar suara yang mengusulkan; ‘Hari Minggu saja’! Dijawab oleh yang lain: ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Nasrani’! Kemudian menyusul yang lain lagi berkata; ‘Kalau begitu, hari ‘Arubah saja’! Dahulu mereka menamakan hari Jum’at hari ‘Arubah. Mereka lalu pergi berkumpul dirumah Abu Amamah Sa’ad bin Zararah. Dipotonglah seekor kambing cukup untuk dimakan bersama“. (Iqtidha’us Shirathil Mustaqim).

Kecuali dua hadits tersebut diatas terdapat hadits lainnya lagi yang juga di ketengahkan oleh Bukhori dan Muslim mengenai nyanyian yang didendang- kan oleh sekelompok muslimin, untuk memperingati hari bersejarah. Peristiwanya terjadi dikala Rasulallah saw. masih hidup ditengah ummatnya. Nyanyian itu justru didendangkan orang ditempat kediaman Rasulallah saw. sekaitan dengan datangnya hari raya ‘Idul Akbar. Peringatan demikian itu dilakukan juga oleh sekelompok muslimin sekaitan dengan hari bersejarah lain nya, yakni hari Biats yaitu hari kemenangan suku-suku Arab melawan Persia, sebelum Islam.

Pada hari itu Abubakar dan ‘Umar [ra] berusaha mencegah sejumlah wanita berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar. Melihat Abubakar dan ‘Umar berbuat demikian itu, Rasulallah saw. menegor dua orang sahabatnya ini. Beliau saw. minta agar kedua-duanya membiarkan mereka merayakan hari besar dengan cara-cara yang sudah biasa dipandang baik menurut tradisi dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hadits yang berasal dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra itu lengkapnya sebagai berikut:

“Pada suatu hari Abubakar Ash-Shiddiq ra datang kepada ‘Aisyah ra (putri nya). Pada saat itu dikediaman ‘Aisyah r.a. ada dua orang wanita Anshar sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh kaum Anshar pada hari Bi’ats. Siti ‘Aisyah ra. memberitahu ayahnya, bahwa dua orang wanita yang sedang menyanyi itu bukan biduanita. Abubakar menjawab: ‘Apakah seruling setan dibiarkan dalam tempat kediaman Rasulallah?’ Peristiwa tersebut terjadi pada hari raya. Menanggapi pernyataan Abubakar ra., Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Abubakar, masing-masing kaum mempunyai hari raya, dan sekarang ini hari raya kita’ “. (Shohih Muslim III/210 dan Shohih Bukhori 1/170).

Yang dimaksud dalam hadits kata hari raya kita ialah hari terlimpahnya nikmat Allah swt.kepada kita, oleh karenanya kita boleh merayakannya. Berdasarkan riwayat yang berasal dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. itu Bukhori dan Muslim memberitakan, bahwa “didalam tempat kediaman Nabi saw. pada saat itu terdapat dua orang wanita sedang bermain rebana (gendang)”.

Dalam shohih Bukhori 1/119 diriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra yang berkata: “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kepadaku. Saat itu dirumah terdapat dua orang wanita sedang menyanyikan lagu-lagu Bi’ats. Beliau saw. lalu berbaring sambil memalingkan muka. Tak lama kemudian datanglah Abubakar (ayah ‘Aisyah). Ia marah kepadaku seraya berkata; ‘Apakah seruling setan dibiarkan berada dirumah Rasulallah ?’….Mendengar itu Rasulallah saw. segera menemui ayahku lalu berkata: ‘Biarkan sajalah mereka’! Setelah Abubakar tidak memperhatikan lagi keberadaan dua orang wanita itu, mereka lalu keluar meninggalkan tempat”.

Riwayat lainnya memberitakan, bahwa “pada hari-hari perayaan Muna, Abubakar ra. datang kepada Siti ‘Aisyah ra. Ketika itu dirumah isteri Nabi saw. terdapat dua orang wanita sedang menyanyi sambil menabuh/memukul rebana. Saat itu Rasulallah saw. sedang menutup kepala dengan burdahnya. Oleh Abubakar dua orang wanita itu dihardik. Mendengar itu Rasulallah saw. sambil menanggalkan burdah dari kepalanya berkata : ‘Hai Abubakar, biarkan mereka, hari ini hari raya’ “!

Siti ‘Aisyah ra juga pernah menceriterakan pengalamannya sendiri; “Aku teringat kepada Rasulallah saw.disaat beliau sedang menutupi diriku dengan bajunya (yang dimaksud adalah hijab/kain penyekat), agar aku dapat menyaksikan beberapa orang Habasyah (Ethiopia) sedang bermain hirab (tombak pendek) didalam masjid Nabawi (di Madinah). Beliau saw. merentang bajunya didepanku agar aku dapat melihat mereka sedang bermain. Setelah itu aku pergi meninggalkan tempat. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.

Dalam shohih Muslim ketika itu ‘Aisyah ra mengatakan: “Aku melihat Rasulallah saw. berdiri didepan pintu kamarku, pada saat beberapa orang Habasyah sedang bermain hirab didalam masjid Nabawi. Kemudian beliau saw. merentangkan baju didepanku agar aku dapat melihat mereka bermain. Setelah itu aku pergi. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.

Dalam hadits yang lain lagi Siti ‘Aisyah ra.menuturkan: “ Pada suatu hari raya beberapa orang kulit hitam negro dari Habasyah bermain darq (perisai terbuat dari kulit tebal) dan hirab. Saat itu, entah aku yang minta kepada Rasulallah saw. ataukah beliau yang bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau ingin melihat’? Aku menjawab: ‘Ya’. Aku lalu diminta berdiri di belakang beliau demikian dekat hingga pipiku bersentuhan dengan pipi beliau. Kepada orang-orang yang bermain-main itu Rasulallah saw. bersabda: ‘Hai Bani Arfidah…teruskan, tidak apa-apa’! Kulihat mereka terus bermain hingga merasa jemu sendiri. Kemudian Rasulallah saw. bertanya kepadaku; ‘Sudah cukup’? Kujawab; ‘Ya’. Beliau lalu menyuruhku pergi, ‘kalau begitu pergilah’ “!.

Dalam Shohih Muslim diriwayatkan juga sebuah hadits berasal dari ‘Atha ra yang menuturkan bahwa yang bermain-main itu entah orang-orang Persia, entah orang-orang Habasyah (Ethiopia). Mereka bermain hirab didepan Rasulallah saw. Tiba-tiba ‘Umar Ibnul Khattab datang, ia lalu mengambil beberapa buah kerikil dan dilemparkan kepada mereka. Ketika melihat kejadian tersebut Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Umar, biarkan saja mereka’!

Sekarang telah kita ketahui, bahwa bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang dituturkan oleh hadits-hadits tersebut diatas ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan sya’ir-sya’ir sambil memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai. Semua ini diriwayatkan oleh para sahabat Nabi terdekat, bahkan oleh isteri beliau saw. sendiri yang langsung menyaksikan. Semua riwayat ini kemudian dicatat dan diberitakan oleh para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhori dan Muslim radhiyallahu ‘anhum agar diketahui oleh segenap kaum muslimin.

Dalam hadits-hadits itu telah diketahui pula bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan membolehkan diadakannya perayaan-perayaan atau peringatan-peringatan hari bersejarah, terutama sekali hari-hari pelimpahan nikmat Allah swt. kepada ummat manusia. Beliau saw. tidak pernah mengatakan perayaaan atau peringatan itu perbuatan kufur atau bid’ah dhalalah/sesat! Kita mengetahui pula bahwa Abubakar ra menyebut nyanyian sebagai seruling setan dan ‘Umar ra melempari orang-orang yang bermain tombak dengan kerikil. Akan tetapi kita pun mengetahui juga bahwa Rasulallah saw. seketika itu juga menegor Abubakar dan ‘Umar karena dua orang sahabat Nabi itu berusaha melarang nyanyian (yang baik, tentunya) teriring bunyi rebana, dan menghalangi orang-orang bermain tombak dalam merayakan hari besar bersejarah itu.

Beliau saw. menegor dua orang sahabat tersebut karena beliau tidak memandang permainan-permainan atau perayaan-perayaan itu sebagai perbuatan kufur, ma’siyat dan tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Dua sahabat Nabi saw. menerima tegoran Nabi saw. dengan jujur dan ikhlas.

Dalam shohih Muslim halaman 168 juga memperkuat dalil-dalil keabsahan peringatan maulid (kelahiran) Nabi saw. yaitu mengenai puasa setiap hari Senin yang dilakukan oleh Nabi saw. Beberapa orang sahabat beliau saw. bertanya apa sesungguhnya motifasi beliau berpuasa tiap hari Senin? Beliau saw. menjawab: “Pada hari itu yakni hari Senin adalah hari kelahiranku dan hari turunnya wahyu (pertama) kepadaku”. Dengan adanya hadits ini kita memandang bahwa hari Senin sebagai hari yang bersejarah, karena mencakup dua peristiwa besar. Jika Rasulallah saw. sendiri berpuasa setiap hari Senin untuk memperingati dan mensyukuri hari kelahiran beliau sendiri, bukankah sangat utama jika kita sebagai ummat beliau saw. berbuat mengikuti jejak beliau yaitu giat memperingati hari maulid beliau setiap tahun, bahkan tiap minggu (tiap hari Senin)? Dalam hal ini mengapa harus di munkarkan atau disesatkan…?

Pernyataan beliau saw. itu bisa dipandang sebagai dalil syar’i mengenai keabsahan peringatan maulid Nabi saw. Jawaban beliau saw. yang meng- hubungkan hari kelahiran beliau dengan hari turunnya wahyu pertama (hari bi’tsah kenabian) kepada beliau, menunjukkan ketinggian martabat hari kelahiran (maulid) nabi sebagai hari terlimpahnya nikmat Allah swt. Dengan demikian sudah semestinyalah kita memandang hari maulid beliau saw. sebagai hari besar dan mulia yang perlu diperingati sewaktu-waktu.

Begitu juga Ibnu Taimiyyah dalam kitab Iqtidha'us-Shriathil-Mustaqim, mengatakan: "Memuliakan hari maulid Nabi dan menyelenggarakan peringatannya secara rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan Rasulallah saw., adalah layak jika dalam hal itu mereka beroleh ganjaran pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mu'min yang lurus ada kalanya dianggap baik oleh orang lain".
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa Ibn Taymiyyah,jld. 23, hal. 133, dan kitabnya Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 294-295, bab “Perayaan yang diada-adakan pada waktu dan tempat tertentu, (Mâ Uhditsa min al-A‘yâd al-Zamâniyyah wa al-Makâniyyah)” mengatakan;
“Demikian halnya apa yang diada-adakan oleh sebagian orang dengan menganalogikan pada orang-orang Nasrani yang merayakan kelahiran Isa, atau karena rasa cinta kepada Nabi saw dan untuk memujanya, Allah swt akan memberi mereka pahala atas cinta dan usahanya ini, bukan atas kenyataan bahwa itu suatu bid’ah … Merayakan dan menghormati kelahiran Nabi saw dan menjadikannya sebagai saat-saat yang dihormati, Ibn Taymiyyah tentang maulid sebagaimana diuraikan dalam kitabnya, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang, adalah baik, dan padanya ada pahala yang besar, karena niat baik mereka dalam menghormati Nabi saw.. “.
Dalam teks yang disebutkan di atas, Ibn Taymiyyah juga menyebutkan fatwa Imam Ahmad ibn Hanbal, imamnya madzhab fikih Ibn Taymiyyah, tatkala orang-orang bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang pangeran yang membelanjakan 1000 dinar untuk membuat hiasan Alquran, beliau (Imam Ahmad) mengatakan: “Itulah tempat terbaik baginya untuk menggunakan emas.”

Seorang editor majalah kaum Salafi, Iqtidhâ’, Muhammad al-Fiqqî, menulis dua halaman catatan kaki untuk teks tersebut. Di dalamnya ia berteriak keras, “Kayfa yakûnu lahum tsawâb ‘alâ hâdza? … Ayyu ijtihâd fî hâdzâ?? (Bagaimana mungkin mereka dapat memperoleh pahala untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa ini??)”. Para ulama Salafi kontemporer bisa dikatakan berlebihan dan menyimpang menyangkut peringatan maulid ini. Mereka merubah sikap Ibn Taymiyyah tersebut dengan ketetapan hukum mereka sendiri, padahal Ibn Taymiyyah adalah tokoh ulama panutan golongan ini.
Pengarang Salafi yang lain, Manshûr Salmân, juga bersikap serupa diatas ketika menerangkan isi kitab al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ karya Abû Syâmah. Karena Abû Syâmah bukannya mengkritisi peringatan maulid, tetapi justru menyatakan, “Sungguh itu (peringatan maulidin Nabi saw.) suatu bid’ah yang patut dipuji dan diberkati”.

Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi saw. oleh Ibn Taymiyyah ini ─yang oleh para pendukungnya telah diartikan secara keliru sebagai suatu kritikan atas peringatan maulid─ telah disebut-sebut oleh para ulama Sunni seperti Sa‘îd Hawwâ dalam al-Sîrah bi Lughat al-Syi‘r wa al-Hubb; Ibn ‘Alawî al-Mâlikî dalam, Mafâhim Yajibu an Tushahhah; al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ‘î dalam Adillat Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah; dan ‘Abd al-Hayy al-Amrunî dan ‘Abd al-Karîm Murâd dalam Hawla Kitâb al-Hiwar ma‘a al-Mâlik.

Al-Hafidh Al-Qasthalany dalam Al-Mawahibulladunniyyah juz 1 hal. 148 cet. almaktab al-Islam berkata : 'Maka Allah akan menurunkan rahmatNya kepada orang yang menjadikan kelahiran Nabi saw. sebagai hari besar'.

Al-Hafidh Assakhawiy dalam Sirah al-Halabiyah berkata: 'Tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ketiga, tetapi dilaksanakan setelahnya dan tetap ummat Islam diseluruh pelosok dunia melaksanakann dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekat dan memperhatikan bacaan maulid dan terlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar'.

Imam Al-Hafidh Ibnul Jauzi dengan kitab maulidnya yang terkenal al-aruus berkata tentang pembacaan maulid sebagai berikut; 'Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya dan merayakannya'.

Imam Al-Hafidh Ibn Abidin dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata: ‘Ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid dibulan kelahiran Nabi saw.’.

Imam Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam al-Durar al-Kâminah fî ‘Ayn al-Mi’ah al-Tsâminah menyebutkan; bahwa Ibn Katsîr –seorang ahli hadits pengikut Ibn Taymiyyah– pada hari-hari terakhir hayatnya menulis sebuah kitab berjudul Mawlid Rasulallah yang tersebar luas. Kitab tersebut menyebutkan kebolehan dan anjuran memperingati maulid Nabi saw.” (Ibn Katsîr, Mawlid Rasulallah, editor Shalah al-Din Munajjad (cet. Dâr al-Kitâb al-Jadîd, beirut 1961).

Dalam kitab Ibn Katsîr tersebut, ia mengatakan, “Malam kelahiran Nabi saw. adalah malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu malam yang membahagiakan bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang, dan tak ternilai harganya.” (Ibid., h. 19).

Jalâl al-Dîn al-Suyûthî berkata: Syekh-Islam –seorang tokoh hadits pada masanya, Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani– pernah ditanya mengenai kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw.. Beliau memberikan jawaban sebagai berikut:
Sehubungan dengan asal muasal dari kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw, itu merupakan suatu bid’ah yang kita tidak menerimanya dari para saleh di antara kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad pertama Hijriah. Meskipun demikian, praktek tersebut melibatkan bentuk-bentuk yang terpuji dan bentuk-bentuk yang tak terpuji. Apabila dalam praktek peringatan tersebut, orang-orang hanya melakukan hal-hal terpuji saja, dan tidak melakukan yang sebaliknya, maka itu bid’ah yang baik, tetapi bila tidak demikian, maka tidak baik. Dalil dasar dari nas yang bisa dipercaya untuk merujuk ke absahannya telah saya temukan, yaitu suatu hadits sahih yang dimuat dalam kumpulan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Nabi saw. datang ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal sepuluh Muharam (Asyura), maka beliau bertanya kepada mereka tentang hari itu dan mereka menjawab: “Hari ini adalah hari Allah swt menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa a.s., maka kami pun berpuasa untuk menyatakan syukur kepada Allah Taala”.
Dalil ini menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada Allah swt atas karunia-Nya yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam bentuk pemberian nikmat dan peng- hindaran dari bencana. Kita mengulang rasa syukur kita dalam peringat an hari tersebut setiap tahun, dengan menyatakan syukur kepada Allah swt dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, memberi sedekah atau membaca Alquran… Lantas, karunia apa lagi yang lebih besar daripada kelahiran Nabi saw., Nabi pembawa rahmat, pada hari ini? Melihat kenyataan demikian, kita seharusnya memastikan untuk memperingatinya pada hari yang sama, sehingga sesuai dengan cerita tentang Musa a.s. dan tanggal sepuluh Muharam di atas. Akan tetapi, orang yang tidak melihat persoalan ini penting, merayakannya pada hari apa saja dalam bulan itu, bahkan sebagian meluaskannya lagi pada hari apa saja sepanjang tahun, pengecualian apa pun dapat diambil dalam pandangan semacam ini.”( Al-Suyûthî, al-Hâwî li al-Fatâwî seperti disebutkan dalam The Reliance of the Traveller karya al-Mishrî, terjemahan oleh Nuh Ha Mim Keller, bagian w58.0.).

Dalam pandangan mufti Mekah, Ahmad ibn Zaini Dahlan, “Memperingati hari kelahiran Nabi saw. dan mengingat Nabi saw. itu dibolehkan oleh ulama muslim.” (al-Sîrah al-Nabawiyyah wa al-Âtsâr al-Nabawiyyah, hal. 51. Kutipan-kutipan selanjutnya kebanyakan diambil dari karya ini).

Imam al-Subki mengatakan; “Pada saat kita merayakan hari kelahiran Nabi saw, rasa persaudaraan yang kuat merasuk ke hati kita, dan kita merasakan sesuatu yang khas”.

Imam al-Syawkânî dalam al-Badr al-Thâli‘. mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi saw.”. Beliau pun mengatakan bahwa Mulah ‘Alî al-Qârî memiliki pandangan yang sama dalam kitabnya, al-Mawrid al-Râwî fî al-Mawlid al-Nabawî, yang ditulis secara khusus untuk mendukung perayaan hari kelahiran Nabi saw..

Imam Abû Syamah, guru Imam al-Nawawî, dalam kitabnya tentang bid’ah, al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ wa al-Hawâdits, berkata: Bid’ah yang paling baik pada masa kita sekarang ini adalah peringatan hari kelahiran Nabi saw.. Pada hari tersebut orang-orang memberikan banyak sumbangan, melakukan banyak ibadah, menunjukkan rasa cinta yang besar kepada Nabi saw., dan menyatakan banyak syukur kepada Allah Swt. karena telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka, untuk menjaga mereka agar mengikuti sunah dan syariah Islam.

Imam al-Syakhawî mengatakan, “Peringatan hari kelahiran Nabi saw. dimulai pada tiga abad setelah Nabi saw. wafat. Seluruh muslimin merayakannya dan seluruh ulama membolehkannya, dengan cara beribadah kepada Allah swt, bersedekah, dan membaca riwayat hidup Nabi saw.”.
Al-Hafidh Ibn Hajar al-Haytsamî mengatakan, “Sebagai mana orang-orang Yahudi merayakan Hari Asyura dengan berpuasa untuk bersyukur kepada Allah swt, kita pun mesti merayakan maulid”. Beliau pun mengutip hadits yang telah disebutkan di depan, “Tatkala Nabi saw. tiba di Madinah …” Ibn Hajar kemudian melanjutkan: (Selayak nya) orang bersyukur kepada Allah swt atas rahmat yang telah Dia berikan pada suatu hari tertentu, baik berupa kebaikan yang besar ataupun keterhindaran dari bencana. Hari tersebut dirayakan setiap tahun setelah peristiwa itu. Ungkapan syukur terlahir dalam berbagai bentuk peribadat an seperti sujud syukur, puasa, sedekah, dan membaca Alquran. Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar dari kedatangan Nabi saw., seorang Nabi penyebar rahmat, pada hari maulid?

Ibn al-Jawzî (w. 579) menulis sebuah buku kecil yang berisi syair dan riwayat hidup Nabi saw untuk dibacakan dalam perayaan maulid. Buku itu berjudul Mawlid al-‘Arûs, (Ibn al-Jawzî, Mawlid al-‘Arûs, Damaskus: Maktabat al-Hadharah, 1955) dan beliau membuka dengan kata-kata, “Al-hamd li Allah al-ladzi abraza min ghurrat ‘arus al-hadhrah shubhan mustanirah (Segala puji bagi Allah swt yang telah mengeluarkan dari pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari yang semburat dengan sinar cemerlang)”.

Soal bentuk dan cara pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah, berbeda dan berkembang sesuai dengan perubahan, perbedaan dan perkembangan masyarakat setempat pada setiap zaman. Syari’at Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah swt., dan ini dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun bentuk dan caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal yang demikian ini banyak sekali contohnya yang dapat dikemukakan, misalnya:

 Soal thawaf, sa’yu, wuquf dipadang ‘Arafah dan beberapa manasik haji yang lain, semuanya itu adalah ketentuan-ketentuan yang tidak boleh diubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash. Ibadah haji adalah suatu kewajiban bagi tiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat. Akan tetapi orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana misalnya dengan berjalan, berkendara- an mobil, dengan kapal laut, dengan pesawat terbang dan sebagainya.

 Pembacaan Al-Qur’an; orang boleh juga memilih apakah ia lebih suka membaca ayat demi ayat yang tertulis dalam kitab suci itu, ataukah hendak membacanya secara hafalan. Dia boleh memilih juga cara membacanya dengan sendirian atau membaca bersama dengan jama’ah.

 Cara pembacaan do’a; orang boleh mengutarakan sendiri apa yang menjadi isi hati dan permohonannya atau dengan membaca kumpulan-kumpulan kalimat tertentu yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun do’a.

 Dalam hal menunaikan zakat dan shadaqah atau infak; orang boleh memilih cara yang dipandangnya terbaik. Ia boleh menyerahkan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya, atau lewat panitia-panitia pengumpul zakat, badan-badan amal atau lembaga lembaga social.

 Demikian juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw.. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya. Banyak sekali kewajiban yang diperintahkan syari’at, yang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu. Mengenai soal-soal itu banyak sekali dalil dapat kita ketemukan.

Kesimpulan keterangan diatas ini ialah segala sesuatu yang menghasilkan maslahat/kebaikan bagi dirinya atau masyarakat itu boleh dan baik diamalkan dengan cara bagaimana pun selama cara ini tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama lagi jika pilihan kita itu sejalan dengan ijma’ (kesepakatan) para alim-ulama. Imam Syafi'i menegaskan: "Hal ihwal baru yang diadakan, jika itu menyalahi Kitabullah atau Sunnah, atau ijma' atau hadits (atsar), itu adalah bid'ah dhalalah (bid'ah sesat). Hal ihwal baru berupa kebajikan, yang diadakan tidak menyalahi ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-'Izz bin 'Abdi-Salam, Imam Nawawi demikian juga Ibnu Atsir semuanya sependapat dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i.

Sebagaimana juga yang telah dikemukakan bahwa para sahabat sering pada zamannya Nabi saw mengerjakan bid’ah/soal-soal baru mengenai bacaan-bacaan didalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan oleh Nabi saw. untuk diamalkannya. Setelah dipertimbangkan masalah-masalah tersebut oleh beliau saw. dan dipandang tidak menyalahi ajaran-ajaran pokok agama dan tidak berlawanan dengan hukum-hukumnya, beliau saw. membiarkan dan malah meridhai perbuatan-perbuatan mereka. Atas dasar itulah para ulama Figih (hukum Islam) bersepakat menetapkan, ‘pada dasarnya segala sesuatu kaidah ada lah mubah atau halal, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits-hadits shahih) yang mengharamkan masalah itu’. Untuk lebih jelasnya silahkan baca keterangan apa yang dimaksud Bid'ah dalam hadits Rasulallah saw. pada bab "Bid’ah yang dipermasalahan" di buku ini, dengan demikian kita bisa menilai sendiri mana yang disebut bid'ah dholalah / sesat dan bid'ah yang dibolehkan oleh syari'at.

No comments:

Post a Comment